“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (QS Al-Maidah: 90).
Sesungguhnya ayat ini telah sangat gamblang menjelaskan tentang haramnya berjudi dan setiap muslim hari ini pun sebenarnya telah paham bahwa berjudi merupakan perbuatan yang dilarang Allah Taala. Akan tetapi, akhir-akhir ini, kasus judi online (judol) di negeri ini makin marak saja.
Menurut laporan Menko Polhukam Hadi Tjahjanto, ada sekitar 4 juta orang yang terdeteksi judol di Indonesia. Usia pemain judol ini bervariasi, mulai dari anak-anak sampai orang tua. Sesuai data demografi pemain judol, usia di bawah 10 tahun ada 2% atau 80 ribu orang, usia 10—20 tahun ada 11% (440 ribu), usia 21-30 tahun 13% (520 ribu), usia 31—50 tahun 40% (1,64 juta) dan usia di atas 50 tahun 34% (1,35 juta).
Pelaku judol ini adalah rata-rata kalangan menengah ke bawah, jumlahnya 80% dengan nominal transaksi mulai Rp10.000 sampai Rp100.000, sedangkan di kelas menengah ke atas mulai dari Rp100.000 hingga Rp40 miliar. (Databoks Katadata, 24-6-2024).
Sungguh jumlah yang fantastis. Mirisnya lagi, pelakunya bukan orang-orang yang kekurangan saja, melainkan orang-orang kaya dan “terhormat” seperti wakil rakyat pun ada juga yang terlibat. Tentu hal ini menimbulkan pertanyaan besar, perbuatan yang telah jelas haram kok malah makin marak di tengah masyarakat? Lalu apa solusi tuntas dari persoalan ini?
Maraknya Judol, Bukan Sekadar Permasalahan Kemiskinan
Persoalan judol sebenarnya bukan hal baru di negeri ini. Hanya saja, memang kasusnya makin merebak ke semua kalangan, termasuk anak-anak dan memunculkan berbagai persoalan di tengah-tengah masyarakat. Masih segar dalam ingatan kita, seorang istri yang membakar suaminya hingga tewas karena sang suami kecanduan judol. Selain itu tidak sedikit kasus perceraian dan depresi karena judol ini.
Tidak dimungkiri memang ada beberapa upaya yang dilakukan penguasa untuk menyelesaikan masalah ini, di antaranya dengan membekukan akun-akun judol, pembentukan Satgas Judi Online yang tertuang dalam Keppres No. 21 Tahun 2024 yang diterbitkan di Jakarta pada 14 Juni 2024.
Kemenag pun tidak ketinggalan dengan membuat program edukasi dan penyuluhan pada calon pengantin, demikian halnya BKKBN menyerukan program penguatan dalam keluarga. Wakil Presiden Ma’ruf Amin pun mengusulkan agar penerima dana bansos yang menyalahgunakannya untuk berjudi agar dicabut dari daftar penerima bansos. Apakah semua upaya ini mampu mencegah makin berkembangnya judol? Ternyata tidak! Mengapa?
Berbagai upaya yang dilakukan memang harus diapresiasi. Akan tetapi, jika kita telusuri, sesungguhnya upaya ini hanya tambal sulam, bahkan memunculkan masalah baru karena memang tidak menyentuh akar masalah. Akun judol diblokir, ternyata akun perjudian baru pun terus muncul dengan berbagai bentuk dan kedok. Mirisnya lagi, masyarakat pun seolah tidak ada kapoknya terus berhubungan dengan judol.
Tidak bisa dimungkiri bahwa maraknya judol hari ini bukan semata karena masalah kemiskinan, tetapi lebih dari itu. Gaya hidup hedonistik masyarakat negeri ini sudah makin parah, budaya flexing di media sosial pun sudah menjadi hal lumrah. Akhirnya, judol yang dipilih sebagai jalan pintas, ingin cepat kaya tanpa perlu kerja keras.
Maraknya judol ini memang tidak bisa dilepaskan dari karut-marutnya sistem kehidupan yang kini sedang dijalankan. Sistem yang dimaksud adalah kapitalisme yang tegak di atas asas sekularisme yang menafikan peran agama dalam pengaturan kehidupan. Sekularisme dengan paham-paham batil turunannya, seperti liberalisme dan materialisme yang diemban negeri ini, memang meniscayakan kehidupan yang serba sempit.
Selain itu, lemahnya pemahaman masyarakat terhadap ajaran Islam kafah menjadikan Islam hanya dipahami sebatas ritual. Wajar jika tidak sedikit individu muslim yang mengalami disorientasi hidup hingga mudah menyerah pada keadaan, bahkan terjerumus dalam kemaksiatan.
Berbagai permasalahan yang berakar pada rusaknya sistem kehidupan yang dianut menjadikan rakyat mengambil jalan pintas, di satu sisi mudah terbujuk oleh iming-iming judol yang sebenarnya juga penuh spekulasi. Di sisi lain, para pemilik akun judol pun mengambil cara mudah untuk mendapatkan uang atau materi, tanpa berpikir yang mereka lakukan itu merugikan orang ataukah tidak, sesuai dengan syariah atau tidak. Semua dilakukan semata agar bisa mendapatkan sebanyak-banyaknya materi demi bisa hidup enak.
Fakta ini menunjukkan bahwa maraknya judol tidak hanya terkait masalah kemiskinan, budaya, dan hukum, melainkan lebih bersifat sistemis, yakni akibat penerapan sistem sekuler kapitalisme. Sistem ini tidak hanya bertanggung jawab terhadap rakyatnya bahkan terhadap seluruh kerusakan yang terjadi di berbagai bidang kehidupan.
Oleh karenanya pembentukan satgas, diblokirnya akun, pelatihan bagi calon pengantin, dan sebagainya, tidak akan mampu menjadi solusi masalah judol ini karena tidak menyentuh akar permasalahan.
Satu-satunya solusi untuk keluar dari permasalahan ini hanyalah dengan mencampakkan sistem sekuler kapitalisme dari pengaturan kehidupan, menggantinya dengan sistem kehidupan yang sahih dan sempurna, yakni sistem Islam.
Solusi Tuntas Hanya dengan Islam
Berbeda dengan kapitalisme, sistem Islam tegak di atas paradigma yang sahih, yakni pemikiran mendasar yang meyakini bahwa di balik alam semesta, manusia, dan kehidupan, ada Allah Swt. Al-Khalik Al-Mudabbir. Hakikat kehidupan manusia terkait dengan misi penciptaan sebagai khalifatullah fil-ardh yang suatu saat nanti pada kehidupan akhirat akan dimintai pertanggungjawaban sekaligus diberi balasan setimpal atas apa yang telah dilakukan. Pemikiran inilah yang akan mencegah seorang muslim melakukan pelanggaran terhadap syariat Islam, termasuk judol.
Tersebab syariat Islam turun untuk mengatur kehidupan manusia sesuai misi penciptaannya, syariat Islam pada hakikatnya merupakan solusi atas seluruh aspek kehidupan dengan solusi sempurna dan menyeluruh. Syariat Islam bersifat universal, lengkap, dan terpadu, sehingga jika diterapkan secara kafah, dipastikan manusia akan bisa meraih kebahagiaan hakiki yang secara fitrah diinginkannya, baik kehidupan dunia dengan diraihnya kesejahteraan dan jaminan keadilan, maupun kehidupan akhirat berupa diperolehnya rida Allah Taala.
Hanya saja, untuk mewujudkan ini semua, tidaklah cukup hanya individu-individu atau keluarga muslim yang melakukan perubahan. Akan tetapi, semua elemen masyarakat, yaitu individu bertakwa, masyarakat, dan negara, harus bahu-membahu melakukan perubahan.
Seorang muslim tentu harus membina dirinya dengan mengkaji Islam kafah secara intensif sehingga terwujud individu dan keluarga yang bertakwa. Masyarakat berperan besar dalam menjaga umat dengan amar makruf nahi mungkar di tengah-tengah umat, mengoreksi terhadap kebijakan penguasa yang menyalahi Islam, dan mendukung kebijakan yang sesuai dengan Islam.
Yang tidak kalah penting adalah negara. Negara adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam persoalan masyarakat, hingga individu per individu. Dalam Islam, tanggung jawab negara diserahkan kepada kepala negara, yaitu khalifah. Ia sebagai imam atau pemimpin dari kaum muslim.
Sebagai raa-in, kepala negara harus melindungi rakyatnya dari segala mara bahaya. Ia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya. Kelak ia akan dimintai pertanggungjawaban pada Hari Kiamat atas amanah kepemimpinannya itu.
Rasulullah saw. bersabda, “Al-Imam adalah raa-in (penggembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari).
Dalam Islam, negara bertindak sebagai institusi yang menerapkan dan melaksanakan syariat Islam kafah. Implementasinya adalah dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan negara tidak boleh bertentangan dengan Islam.
Negara Islam juga tidak akan memberi peluang hadirnya berbagai hal yang berdampak buruk ke tengah masyarakat, termasuk sarana dan prasarana yang bisa merusak moral rakyatnya. Juga menjamin ruang digital yang aman bagi rakyatnya dengan memutus semua hal yang bisa membahayakan rakyatnya melalui ruang digital tersebut. Bahkan, negara harus memiliki visi memiliki kedaulatan digital.
Selain itu, negara akan menyelenggarakan sistem pendidikan Islam dengan kurikulum berbasis akidah Islam sehingga akan terwujud rakyat yang memiliki berkepribadian Islam yang akan terhindar dari berbagai keburukan. Selanjutnya, negara pun akan memberlakukan sanksi kepada siapa pun yang melanggar aturan-aturan Islam, termasuk judol.
Dengan demikian umat manusia di dalam negara yang menerapkan Islam secara kafah akan terjaga dari berbuat maksiat. Hari ini, ketika negara Islam belum tegak, sudah menjadi kewajiban kita untuk mewujudkannya.
Langkah Nyata
Allah Swt. telah memerintahkan kepada kita untuk tidak berdiam diri ketika kita dan umat Islam dalam keterpurukan, sebagaimana firman-Nya dalam QS Ar-Ra’du ayat 11, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”
Inilah saatnya kita berjuang bersama untuk melakukan perubahan hakiki, yaitu dengan mewujudkan sistem kehidupan yang unggul dengan menerapkan syariat Islam kafah dalam bingkai Khilafah. Hanya dengan Khilafah, seluruh aturan Islam akan bisa tegak di muka bumi ini. Hanya dengan diterapkannya aturan Islam secara kafah, seluruh permasalahan akan bisa diselesaikan, termasuk permasalahan judol ini.
Mengembalikan sistem Islam inilah yang seharusnya menjadi titik fokus perjuangan umat Islam saat ini, tentu saja dengan mengikuti apa yang telah Rasulullah saw. contohkan. Diawali dengan membangkitkan pemikiran umat dan membinanya dengan ideologi Islam sehingga lahir kader-kader umat. Merekalah mutiara-mutiara umat yang akan melakukan dakwah secara berjemaah ke tengah umat dengan dakwah politis.
Caranya adalah dengan membina umat dengan Islam. Pemikiran dan hukum-hukum Islam ini tidak boleh hanya dipandang sebagai informasi, tetapi harus dipandang sebagai pijakan untuk berbuat dan menyikapi fakta yang dihadapinya dengan tepat dan benar berdasarkan sudut pandang Islam.
Dengan dakwah politis ini, akan terbentuk opini umum di tengah umat yang selanjutnya akan berpengaruh pada tingkah laku dan selalu ingin diatur oleh hukum-hukum Islam. Selanjutnya, akan senantiasa mengupayakan agar aturan Allah dan Rasul-Nya tegak di muka bumi ini. Itu karena mereka paham bahwa hanya dengan sistem Islamlah umat Islam akan mulia dan terjaga dari aktivitas yang sia-sia, serta menyimpang seperti judol ini. Wallahualam bissawab.